Suatu Senja di Bakoel Koffie - peristiwa kebudayaan dalam kafe

Ada sebuah kafe di Cikini, Bakoel Koffie namanya, sebagai bagian dari maraknya banyak kafe ‘khusus kopi’ di Jakarta, tak mau ketinggalan dengan eksotisisme kopi yang semenjak Starbucks telah menjadikannya sebagai fenomena sosial—dan komersial—baru di berbagai kota besar dunia.

Tentu bukan untuk kopi itu sendiri, maka kafe—yang artinya memang tempat minum kopi—didatangi orang, melainkan untuk bersosialisasi. Maka bukan hanya sekadar kopi yang ditawarkan kafe semacam Bakoel Koffie, melainkan suasana yang diandaikan akan mendukung kehidupan sosial itu. Apakah itu dari konsep interior kafe tersebut, sampai kepada jenis musik dan komposisi menu.

Dalam hal Bakoel Koffie, tampak nyata betapa konsep yang dipilihnya adalah konsep tata ruang kejadul-jadulan, konsisten dengan ejaan OE untuk bunyi “u” (ejaan Van Ophuysen yang berlaku antara 1901-1947) yang agaknya sesuai pula dengan pilihan hiasan dinding dan meubel demi rasa eksotiknya.

Dengan pertimbangan bahwa kopi selalu ditemani rokok, Bakoel Koffie di Cikini itu memanfaatkan ruang terbuka dari konstruksi bangunan lama. Dengan kebebasan berasap ria, justru ruang tak ber-AC itulah yang dominan dan menjadi favorit di Bakoel Koffie.

Bagi saya, sebuah pojok menjadi favorit tergantung berbagai faktor determinan yang mendukungnya, mulai dari siapa orangnya sampai kapan waktunya, apakah pagi, siang, sore, atau malam, dan demi kepentingan apa. Misalnya kadang-kadang saya melakukan tugas pembimbingan skripsi dengan beberapa mahasiswa di tempat itu, maka jelas yang saya perlukan adalah ‘meja konferensi’ luas di ruang atas, tempat segala lembaran kertas, buku-buku, dan laptop bisa tersebar dengan bebas, di samping rasanya lantas jadi sahih berdiskusi dengan suara yang agak lebih keras.

Pertemuan terbatas antar teman dalam urusan pekerjaan, meskipun pagi hari, lebih sreg di ruangan AC, tempat susunan kursi bisa menampung empat sampai lima orang dalam suasana santai; tetapi jika malam, untuk pertemuan dua orang, jelas meja kecil dengan hanya dua kursi berhadapan yang hanya berbatas kaca dari ruang non-AC, urusan sosial maupun personal, adalah yang paling tepat—dan jika yang kita tunggu belum datang, tempat itu dekat dengan colokan jika laptop kita daya baterainya habis.

Bagaimana jika menjelang senja tiba? Suatu ketika tanpa sengaja saya berada di jendela kaca besar yang memperlihatkan trotoar, orang lewat tanpa harus bergegas, lalu lintas di balik motor dan mobil yang parkir, dan sepotong langit senja di atas kompleks pertokoan di seberangnya. Di balik kaca jendela yang bertuliskan Bakoel Koffie dengan gambar perempuan menggendong bakul itu, terdapat dua kursi yang berhadapan dengan meja marmer yang agak bergoyang-goyang perlu ganjel. Sembari menunggu, saya sadar bahwa berada di tempat itu artinya diri saya menjadi bagian dari rancangan tampak depan kafe, yang akan terlihat oleh siapapun yang lewat, karena saya pun pernah berada dalam posisi di luar dan memandang ke dalam melalui jendela kaca tersebut.

Seingat saya, saya selalu mendapat kesan bahwa dua manusia yang bercakap-cakap sambil berhadapan di balik kaca jendela itu tampak bahagia—apakah lelaki dan perempuan, lelaki dan lelaki, ataupun perempuan dan perempuan. Dari balik kaca, posisi berhadapan dengan wajah riang dan berseri, dengan secangkir kopi maupun lemon tea di atas meja itu, tampak sebagai pemandangan yang manis. Namun sekarang sayalah yang berada di posisi itu, sendirian menunggu seseorang, apakah saya juga akan tampak sebagai bagian dari kebahagiaan?

Senja membuat tempat itu bagi saya paling tepat, karena bias cahayanya yang lamat-lamat menyepuh kaca jendela. Bahwa para pejalan kaki yang lewat tak bergegas, memberikan suasana yang berbeda jika dibandingkan berada di tempat yang sama ketika matahari sedang terik-teriknya. Pada senja menjelang akhir hari, segalanya tampak melembut, bagaikan saya sedang tidak berada di Jakarta, padahal saya jelas sedang berada di Jakarta. Mungkinkah ini sekadar pembuktian sederhana bahwa ruang dan waktu itu memang relatif adanya? Bila Einstein telah membuktikannya dalam fisika, bahwa ruang dalam kereta api yang berjalan memang tak sama dengan ruang di luarnya, apakah ini merupakan gejala yang sama?

Tercium bau harum kopi, sudah jelas pengalaman dengan relativitas ruang dan waktu Jakarta yang dialami siapapun di Bakoel Koffie, bahwa mereka bagaikan tidak sedang berada di Jakarta bukanlah peristiwa fisika, melainkan peristiwa kultural: bahwa adanya dunia terdapat dalam cara kita menafsirkannya. Dalam pengertian itu, senja di Bakoel Koffie bukanlah sekadar peristiwa alam antara pukul 17.30 sampai 18.30, sama sekali bukan, karena dalam pengalaman manusia waktu bukanlah sekadar detak mekanis pada arloji, melainkan bagian dari ruang di dalam—dan bukan di luar—diri manusia itu sendiri.

Sampai pada titik ini, kawan yang saya tunggu pun tiba.