Mengupas tuntas keistimewaan mahakarya rempah bir pletok dan cethe
Jakarta Fair Kemayoran (JFK) merupakan ajang pameran dan hiburan terbesar, terlama, dan terlengkap se-Asia Tenggara yang menginjak usia 50. Tahun ini, event untuk merayakan ulang tahun Jakarta itu dikemas lebih istimewa. JFK menghadirkan beragam kegiatan dan konten menarik yang turut mengangkat unsur budaya lokal agar masyarakat dapat mengenal serta mengapresiasi kekayaan Mahakarya Indonesia.
Menurut sejarawan JJ Rizal, ada dua mahakarya yang harus diapresiasi dan dijaga bersama-sama. Pertama, ciptaan Tuhan seperti hasil alam, keragaman flora, fauna, dan sebagainya. Kedua adalah hasil kreasi manusia seperti kesenian, budaya, bahasa, hingga kuliner. Bir Pletok adalah salah satu mahakarya dari tanah Betawi yang patut dilestarikan. Minuman khas Betawi ini menjadi bukti peranan penting rempah-rempah khususnya cengkeh. Pada masa lalu, rempah seperti cengkeh, pala, bunga pala, lada dan kayu manis telah menjadikan Indonesia sebagai “Jalur Rempah” dalam sistem perniagaan.
Kreasi bir pletok tak lepas dari peranan rempah-rempah berkualitas seperti cengkeh, jahe, jinten, daun pandan wangi, serai, dan kayu secang. Kata pletok sendiri diambil dari suara ‘pletok’ saat penyumbat kayu – yang biasanya digunakan untuk menutup botol anggur – dicabut. Minuman ini biasa disuguhkan saat momen-momen penting masyarakat Betawi. Keistimewaan bir pletok juga telah diakui di tingkat nasional, hingga dunia. Terbukti dengan penobatan bir pletok sebagai salah satu dari 30 Ikon Kuliner Nusantara oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di tahun 2012. Keunikan minuman ini terus dipromosikan di dalam maupun luar negeri.
Selain Bir Pletok, ada juga Mahakaya Indonesia lain yang turut meramaikan JFK 2017 yaitu, Cethe. Salah satu budaya yang lahir di Tulungagung, Jawa Timur ini mulai menyebar ke daerah pesisir lainnya. Lahirnya budaya nyethe atau kegiatan mengoleskan ampas kopi ke batang rokok membentuk motif tertentu seperti batik, sulur, tulian, hingga tribal. Cethe merupakan bentuk budaya yang menggambarkan masyarakat Indonesia sebagai Homo Ludens, di mana manusia tidak harus selalu bekerja, tetapi perlu menyediakan waktu untuk bersantai atau bermain. Cethe juga dikaitkan dengan sejarah batik dan tradisi “ngerawit” atau sebutan motif batik yang rumit dan sulit.
Kedua mahakarya tersebut bisa dinikmati di JFK 2017 pada pavilion Mahakarya Indonesia persembahan Dji Sam Soe Super Premium. Renaldo Ratman sebagai tim penyelenggara acara menyampaikan bahwa paviliun tersebut adalah wujud nyata Dji Sam Soe yang selalu berkomitmen untuk menjaga berbagai kekayaan Indonesia. “Segala sesuatu yang berharga harus dijaga dengan sempurna,” ungkapnya.
Selain dua mahakarya tersebut, paviliun Mahakarya Indonesia juga mempersembahkan banyak aktivitas lain yang memberikan pengunjung kesempatan untuk menikmati berbagai pengalaman multisensorial yang memanjakan kelima panca indera mereka. Lebih jauh lagi, pengunjung dapat mengetahui tentang kegigihan perjalanan Dji Sam Soe dalam kemasan menarik. Museum mini berisikan beragam memorabilia, pengetahuan asal mula dan keunikan rempah Indonesia, cara memilih dan meracik rempah khususnya cengkeh, dan masih banyak lagi. Bahkan, suguhan Kerak Telor khas Betawi pun bisa dinikmati pengunjung di area santap mantap. “Melalui paviliun ini, kami ingin mendekatkan kekayaan mahakarya yang dimiliki oleh Indonesia agar semakin dikenal dan pada akhirnya masyarakat dapat turut serta dalam menjaga dan melestarikan Mahakarya Indonesia itu sendiri,” tutup Reno.
Posting komentar