Opera pertama mengenai deforestasi Kalimantan di Indonesia
Ine Aya’ - Suara Samar Rimba adalah opera baru yang menceritakan tentang deforestasi di Kalimantan. Kreasi baru ini menghadirkan kolaborasi antara musisi Kalimantan Barat dan Belanda sekaligus menggabungkan kebudayaan Timur dan Barat: Takna’ Lawe’ dari Kayan yang sangat kaya akan warisan kebudayaannya, dan Der Ring des Nibelungen karya Richard Wagner. Kedua cerita tersebut bercerita tentang pentingnya dan pemujaan terhadap alam dan sumber daya alam. Dengan merajut dua alur cerita, mereka menghubungkan tradisi budaya Kayan Kalimantan yang kaya dengan mitologi Barat dalam interpretasi Wagner. Hasilnya adalah perpaduan teater musikal yang pedih dari dua budaya yang terjalin dalam banyak cara. Ine Aya’ menceritakan hal-hal yang melewati batasan kebudayaan, dan menginspirasi perubahan sikap kita terhadap alam.
Opera ini dipentaskan pertama kali di acara bergengsi, Holland Festival, pada tahun 2021. Tahun ini, pada tanggal 19 Agustus 2022, opera ini telah dipentaskan pertama kali di Indonesia di pedalaman Kalimantan, di desa Kayan bernama Mendalam, dilanjutkan oleh beberapa kali pertunjukan di Pontianak (22-23 Agustus 2022) dan Jakarta (27 Agustus 2022). Pada setiap pertunjukan yang telah berlangsung, antusiasme yang diberikan penonton sangat baik. Terlebih lagi, hingga rilis ini diturunkan, kuota tempat duduk pada seluruh pertunjukan di Pontianak dan Jakarta telah habis.
Timur dan Barat di Opera Terbaru
Ine Aya’ lahir di tengah pandemi yang melanda dunia. Opera ini berakar dari riset tentang tradisi lokal di Kalimantan dan sebagian dari proyek ini dikembangkan di Mendalam, kampung yang didiami oleh orang-orang Kayan lewat dialog bersama penyanyi tradisi serta pemimpin spiritual di sana. Setelah dua tahun pandemi, Ine Aya’ akhirnya bisa dipertontonkan di lokasi asal penelitian pertamanya, di Mendalam, Kalimantan.
Opera baru ini adalah kolaborasi antara sutradara Miranda Lakerveld dari World Opera Lab dan komposer Nursalim Yadi Anugerah dari Balaan Tumaan ensemble. Yadi adalah musisi yang sedang berkembang di Indonesia, dan paham sekali mengenai kultur kebudayaan musik Kayan. Ia mencari bentuk-bentuk baru untuk menampilkan musik warisan Kayan sehingga dapat disukai oleh khalayak. Sutradara panggung Miranda Lakerveld sudah melakukan penelitian di tradisi musik-teater dari seluruh dunia, dan membuat produksi opera mendunia seperti Turan Dokht di Iran dan Orfeo di India, tepatnya di Gujarat. Ine Aya’ dipentaskan oleh tim internasional, dengan penampil dari Kalimantan, Belanda, Thailand, Iran dan Amerika Serikat.
Sebuah Pohon sebagai Pusat dari Dunia
Opera ini menggabungkan warisan kebudayaan Kayan dari Kalimantan yang kaya, terutama musik indah dari drama Takna Lawe’, hingga mitologi dan musik dari Ring des Nibelungen karya Wagner. Kedua epik klasik ini merupakan manifesto alam “avant-la-lettre”, yang memperingati kita akan penyalahgunaan alam.
Dua sumber inspirasi untuk Opera Ine Aya’ ini memiliki banyak kesamaan. Epik Kayan Takna’ Lawe ‘ dan Der Ring des Nibelungen karya Richard Wagner keduanya memiliki ‘pohon kehidupan’ yang membentang di seluruh bumi dan menyatukan semuanya. Alkisah di pusat sebuah dunia, ada satu pohon besar yang menjadi tumpuan kehidupan. Orang-orang Kayan di Kalimantan menyebutnya Kayo’ Ayo’ dan orang-orang yang mendiami Eropa Utara menyebutnya Yggdrasil. Dewi penjaga hidup di pohon tersebut, ia disebut Ine’ Aya’ di Kalimantan dan dikenal sebagai Erda di Eropa Utara. Ketika Dewa Langit Hingaan Jaan memburu binatang, Ine’ Aya’ geram dan menumbuhkan pohon banyan besar di sekelilingnya. Sementara dalam kisah dari Eropa Utara, Wotan, terobsesi pada Pohon kehidupan. Ia menginginkan kekuatan dan rahasia alam. Ine Aya’ menghukum Wotan dan membuat ranting dan batang pohon merambati dia, hingga ia terpenjara. Karena ia berusaha berontak terus, lama-lama pohon itu mati. Generasi muda berusaha melindungi sang pohon dari serangan dunia luar.
Apakah pohon ini akan hancur seutuhnya? Atau, apakah kita bisa menyembuhkan si pohon dan memulai kembali kehidupan?
Warisan Nusantara di Perjuangan akan Alam
Takna’ Lawe’ biasanya dinyanyikan dan dipertontonkan. Naskah ini didasarkan pada tradisi mendalam dari Kalimantan, yang secara puitis menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam. Cerita ini, telah diturunkan turun-temurun selama berabad-abad, dan pertama kali dituliskan pada tahun 1980an dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Para peneliti Kayan bekerja mengejar waktu untuk menjaga Takne’, naskah klasik yang diceritakan dari Kayan. Tradisi ini hampir punah. Secara utuh, ia dipentaskan terakhir kali sekitar 30 tahun yang lalu. Dalam opera baru ini, musik dari Takna’ Lawe’ disandingkan dengan musik ciptaan Wagner. Kedua musik dan drama itu memanfaatkan motif berulang. Penampilan di Holland Festival kemarin adalah kali pertama teks dari Takna’ Lawe’ terdengar di Eropa.
Opera ini dipentaskan oleh Balaan Tumaan ensemble, yang memainkan instrumen tradisional seperti sape’ dan kaldii’. Para pemain termasuk soprano asal Belanda-Indonesia; Bernadeta Astari, aktor asal Filipina-Amerika Serikat; Rolfe Dauz, soprano fenomenal asal Kalimantan; Frisna Virginia sebagai Ine Aya’, penari Art Srisayam, dan musik dan vokal oleh aktivis Kayan; Dominikus Uyub dan Dayung Marta Haran. Kostum ditata oleh Uke Toegimin.
Pernyataan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN): Pertarungan akan Hak Pertanahan bagi Para Penduduk Asli
Aktivis dan Ketua AMAN Kalbar, Dominikus Uyub, adalah bagian dari produksi sebagai pemain sape, peneliti dan penyanyi. Sebagai direktur AMAN, ia saat ini mengadvokasi hak atas tanah untuk kelompok adat di Kalimantan Barat, yang merupakan langkah penting dalam pelestarian hutan dan warisan budaya yang unik. Ia mengatakan, “Kerusakan hutan dan alam adalah akibat dari perilaku manusia yang serakah yang tak terpuaskan, dan mengabaikan dampak negatifnya terhadap seluruh penghuni bumi. Dampak terhadap alam juga berdampak negatif terhadap tradisi dan budaya. Perilaku ini diperkuat oleh kebijakan lokal dan internasional yang terlalu sedikit memperhatikan lingkungan dan keselamatan manusia. Bagi masyarakat adat, hutan dan tanah seperti ibu yang terus dijaga dan diselamatkan. Dialah yang melahirkan perdamaian, kemakmuran, tradisi dan budaya, yang merupakan satu kesatuan yang utuh dalam semua aspek kehidupan adat. AMAN mendukung penuh kampanye pelestarian hutan dan warisan budaya melalui seni pertunjukan, terutama kolaborasi antara timur dan barat ini.” Melalui pertunjukan seni ini, publik diharapkan dapat merenungi dampak keserakahan manusia atas alam itu sendiri.
Pernyataan dari Miranda Lakerveld dan Nursalim Yadi Anugerah
Miranda Lakerveld, selaku Sutradara dan Penulis Naskah Ine Aya’, berkata: “’Deforestasi di Kalimantan adalah masalah yang sangat kompleks yang terkait dengan kita semua, klaster global. Saya pikir kita akan lebih memahami masalah ini jika ada dialog antara semua pihak yang terlibat. Tidak ada solusi sederhana. Kita tidak bisa begitu saja turun ke sana dan menanam beberapa pohon. Kita perlu menghadapi kompleksitas, berkolaborasi lintas batas dan mengubah pandangan kita tentang menyesuaikan alam. Seni dapat memainkan peran penting dalam hal ini.’”.
Komponis Nursalim Yadi Anugerah menambahkan, “Saya pikir harus ada lebih dari sekedar motivasi artistik. Musik dapat melakukan lebih banyak lagi. Itu bisa menghubungkan masyarakat. Ini bisa memperbesar masalah budaya dan sosial, seperti dalam kasus kami, masalah lingkungan di Kalimantan: deforestasi perkebunan kelapa sawit. “.
Posting komentar