Art & Culture

Ireland’s Eye Kembali ke Jakarta

Sebuah Pameran Berani Tentang Seni Modern Irlandia

ISA Art and Design, bekerja sama dengan Kedutaan Besar Irlandia untuk Indonesia dan PT Jakarta Land, dengan bangga kembali menghadirkan Mata Irlandia, sebuah rangkaian pameran seni kontemporer yang sangat dinanti. Sekarang memasuki episode keempat, pameran menarik ini telah membawa perspektif seni modern Irlandia ke Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya sejak 2022. Pameran terbarunya akan digelar di area lobi World Trade Centre 2 di Jakarta Pusat dari 17 Maret hingga 11 April 2025.

Dalam episode keempatnya, Mata Irlandia akan kembali memberikan panggung pada karya-karya seniman baru Irlandia. Tahun ini, seniman dan juga pengajar asli Irlandia, Mark Joyce, akan bertindak sebagai kurator, memilih sekelompok seniman yang dinamis untuk mempertontonkan evolusi dan keanekaragaman seni rupa Irlandia. Pilihannya menawarkan sebuah pandangan tentang lanskap budaya modern Irlandia kepada khalayak di Indonesia.

Mata Irlandia 2025 menelusuri lanskap sosial dan budaya Irlandia kontemporer, di mana identitas yang saling bersinggungan membentuk topografi dinamis. Pameran ini mempertemukan enam seniman Irlandia—Isobel McCarthy, Olivia Normile, Mary Sullivan, Aaron Sunderland Carey, serta duo Electronic Sheep (Brenda Aherne dan Helen Delany). Melalui karya-karya mereka yang ditampilkan, pameran ini mengeksplorasi pertentangan antara tradisi dan modernitas serta pengalaman hidup di Irlandia di masa kini—baik dalam konteks urban maupun rural, individu maupun kolektif; dari pulau-pulau terpencil di Atlantik hingga denyut energi kota Dublin. Dengan narasi tentang migrasi, warisan leluhur, serta kompleksitas globalisasi, pameran ini menyoroti Irlandia bukan sebagai entitas yang statis, melainkan sebagai sebuah entitas yang hidup—terus berkembang dan dibentuk oleh perubahan sosial serta lingkungan.

Sepanjang sejarahnya, Irlandia telah menjadi tanah dengan batas-batas yang berpori—baik secara politik, geografis, maupun psikologis. Sebagai sebuah bangsa yang muncul dari bayang-bayang kolonialisme, Irlandia telah melewati siklus pergolakan, ketahanan, dan penemuan kembali identitasnya. Luka yang ditinggalkan oleh emigrasi paksa, kesulitan ekonomi, dan gejolak politik tetap terukir di lanskapnya, tetapi begitu pula budaya yang kaya akan narasi, komunitas, dan ekspresi artistik. Enam seniman dalam Mata Irlandia 2025 menanggapi sejarah berlapis tersebut melalui beragam medium, mulai dari tekstil dan cetak grafis hingga film, instalasi, dan gambar. Karya-karya mereka menelaah bagaimana masa lalu Irlandia membentuk masa kininya, menghubungkan ingatan, materialitas, dan transformasi dalam era perubahan yang cepat.

Para Seniman

Sebagai seniman yang berakar di lanskap pesisir barat daya Irlandia, Mary Sullivan menghadirkan sensibilitas sinematik dalam praktiknya, merangkai pola-pola kehidupan di wilayah pinggiran dengan subtil tetapi mendalam. Karya videonya, The Fine Line, merefleksikan keberadaan perempuan di pulau-pulau terpencil yang kerap tak terlihat, tetapi menjadi tulang punggung komunitas mereka. Aktivitas memancing dengan tali pancing—yang penuh ketelitian, kesabaran, dan repetisi—menjadi alegori kuat bagi gaya hidup yang kian tergerus tetapi tetap tertanam dalam kesadaran budaya. Karya Sullivan berbicara tentang sejarah panjang kerja perempuan di Irlandia—generasi ibu, pekerja, dan perawat yang kontribusinya jarang tercatat dalam sejarah resmi.

Praktiknya beresonansi dengan kajian ulang terhadap kerja domestik dan rural, mengingatkan kita pada pemikiran Silvia Federici. Federici menyoroti bagaimana kerja tanpa upah telah menjadi fondasi bagi ekonomi terutama aliran kapitalis dan kolonial. The Fine Line mengungkapkan bagaimana pekerjaan perempuan yang sering kali terabai di komunitas pulau terpencil tidak hanya menopang keluarga mereka melainkan juga mempertahankan keberlanjutan wilayah tersebut. Kualitas sinematik dalam karya Sullivan tidak sekadar mendokumentasikan, tapi justru mengangkatnya menjadi observasi puitis, memungkinkan penonton untuk merenungkan makna sosial dan historis yang tersembunyi dalam tindakan sehari-hari ini.

Di pinggiran Dublin, Aaron Sunderland Carey bekerja dengan komunitas marginal yang menghadapi pengabaian sistemik dan siklus kemiskinan yang turun-temurun. Carey memiliki latar belakang pendidikan S2 dalam seni dan aksi sosial. Praktik seninya dalam penggunaan beragam media memantik empati dan pemahaman seputar isu sosial. Dalam karyanya, Seánachas, Carey berkolaborasi dengan komunitas-komunitas di Ballymun. Karya ini terasa sederhana tetapi menggugah, menangkap perjuangan tak kasatmata orang-orang yang tinggal di Ballymun dalam menghadapi masyarakat yang tidak menawarkan banyak jaminan akan rasa memiliki. Praktik Carey melampaui sekadar representasi, bergerak menuju keterlibatan aktif dengan menggunakan seni sebagai alat untuk berdialog. Keterlibatannya dalam proyek seperti Boys in The Making menantang narasi dominan tentang maskulinitas dan kenakalan, serta mengusulkan visi alternatif tentang kepedulian, bimbingan, dan rehabilitasi.

Dalam praktik Isobel McCarthy, seniman ini mengeksplorasi lapisan-lapisan ingatan personal dan kolektif, menggali sisa-sisa kehidupan sehari-hari—objek, tekstur, dan ritual domestik—untuk membangun ruang yang berayun antara keintiman dan ketidaklaziman. Dengan memanfaatkan material temuan dan citra yang akrab, ia mengkonfigurasi ulang interior domestik, mengungkap ketegangan antara nostalgia dan keterpecahan.

Aspek kunci dalam karya McCarthy adalah penggunaan hewan sebagai perwakilan hubungan manusia. Kehadiran simbolis ini mengundang peninjauan ulang terhadap bagaimana mitos meresapi kehidupan sehari-hari, mengaburkan batas antara masa lalu dan masa kini.

Dalam karya McCarthy, rumah merupakan tempat perlindungan dan sekaligus keretakan—ruang yang dipenuhi dengan ketiadaan sekaligus kehadiran. The Poetics of Space karya Gaston Bachelard menawarkan perspektif untuk memahami interior ini, menekankan bagaimana arsitektur dan objek-objek domestik berfungsi sebagai wadah bagi jejak psikologis. Dinding, furnitur, dan artefak rumah tangga sekecil apa pun menjadi kontainer ingatan, memetakan cara sejarah personal terukir dalam ruang.

Dengan mengambil sisa-sisa material dari kehidupan sehari-hari dan membawa makna baru kontekstualisasinya, karya McCarthy menyoroti sifat rapuh dan dinamis dari rasa memiliki—bagaimana rumah bukan sekadar struktur fisik, tetapi juga sebuah narasi yang terus-menerus dibangun kembali melalui ingatan, mitos, dan pengalaman hidup.

Electronic Sheep (Brenda Aherne dan Helen Delany) adalah duo seniman multidisiplin yang berbasis di London dan Dublin dan memulai kolaborasi kreatif mereka pada 1998 setelah menempuh studi di National College of Art di Dublin. Melalui karya-karyanya, mereka memperluas cakupan geografis pameran, merajut sejarah migrasi dan pengalaman transnasional.

Praktik mereka, yang berakar pada seni bercerita, mencakup lintas generasi dan benua, menjembatani masa lalu dan masa kini Irlandia melalui medium yang telah lama dikaitkan dengan industri dan kerajinan. Karya terbaru mereka, dikembangkan bersama Kilburn in Motion, merefleksikan diaspora Irlandia di London, khususnya di daerah seperti Kilburn, yang secara historis menjadi rumah bagi generasi pekerja Irlandia. Keterlibatan mereka dengan tema keadilan sosial, termasuk imigrasi dan integrasi, menempatkan praktik seni mereka dalam diskursus yang lebih luas tentang pengungsian, tenaga kerja, dan konstruksi identitas diaspora. Karya-karya mereka berfungsi sebagai permadani kontemporer yang melapisi sejarah personal dengan isu-isu sosial dan politik yang lebih luas.

Karya Olivia Normile dengan lembut mengeksplorasi batas-batas dinamis antara bahasa, komunikasi, dan persepsi, menavigasi ruang-ruang liminal ini melalui medium animasi, instalasi, dan film eksperimental yang menggugah. Karyanya secara halus menantang dominasi bahasa verbal yang diasumsikan, memilih untuk membangun lingkungan visual imersif di mana makna berkembang melalui kefasihan gestur, kekuatan repetisi, dan permainan ruang yang penuh makna.

Di dunia yang semakin terdigitalisasi, di mana interaksi manusia sering dimediasi oleh layar dan algoritma yang tak terlihat, karya Normile menawarkan pengkajian kritis tentang bagaimana citra dalam berbagai bentuknya membentuk pemahaman kita terhadap realitas.

Dalam Towards a Philosophy of Photography, Vilém Flusser berpendapat bahwa masyarakat kontemporer sangat dipengaruhi oleh epistemologi berbasis citra—sistem pengetahuan yang memiliki kapasitas paradoksal untuk menerangi sekaligus mengaburkan makna yang mereka bawa. Sejalan dengan pemikiran ini, karya Normile mengajak kita untuk mempertimbangkan bagaimana ketergantungan kita pada informasi visual dapat memperluas sekaligus membatasi pemahaman kita. Normile membawa kekhawatiran Flusser bahwa citra dapat menjadi bentuk "sihir teknis," membentuk persepsi kita dengan cara yang mungkin tidak sepenuhnya kita sadari.

Selain itu, penekanannya pada gestur dan hubungan spasial menyoroti dimensi komunikasi non-verbal, menunjukkan bahwa makna dapat disampaikan secara visual tanpa bergantung pada struktur linguistik. Dalam konteks ini, karyanya beresonansi dengan diskusi yang lebih luas tentang hakikat komunikasi itu sendiri dan sejauh mana komunikasi dapat melampaui keterbatasan bahasa.

Judul Mata Irlandia/ Ireland’s Eye menawarkan dua perspektif—melalui lensa orang dalam dan orang luar, penduduk asli dan pengamat. Membawa Ireland’s Eye, pulau tak berpenghuni di lepas pantai utara Dublin, yang secara historis menjadi tempat perlindungan dan pengamatan sunyi, sekaligus sebagai metafora ‘mata’ yang mengamati, mencatat, dan menafsirkan. Dalam dunia yang semakin terpecah oleh perpecahan politik, krisis lingkungan, dan percepatan kehidupan digital, pameran ini mempertanyakan apa artinya melihat Irlandia hari ini.

Bagaimana lanskap merekam memori? Bagaimana komunitas bertahan dan berubah? Dan bagaimana seni menjadi saksi sekaligus agen perubahan?

Dengan menghadirkan enam seniman ini—yang kisah karyanya mencakup berbagai generasi, media, dan isu tematik—Mata Irlandia/Ireland’s Eye 2025 tidak hanya menawarkan satu perspektif tunggal, melainkan keberagaman sudut pandang. Pameran ini mendorong kita untuk merenungkan dari mana kita berasal, di mana kita berada, dan ke mana kita menuju, melalui seni yang tetap berakar kuat pada tempatnya, tetapi terbuka terhadap cakrawala kemungkinan yang terus berkembang.