Yang Baru

Pipiltin Cocoa Luncurkan Ransiki 72%

Varian Cokelat dari Papua Barat Bagi Pelestarian Alam Indonesia dan Dunia

Pipiltin Cocoa tanggal 22 Agustus 2019 resmi meluncurkan koleksi terbaru dari edisi cokelat asli Indonesia, Ransiki 72%. Peluncuran cokelat ini merupakan angin segar bagi industri cokelat tanah air dalam upayanya mendukung produk asli Indonesia yang peduli kelestarian alam Indonesia dan kesejahteraan petani. Ransiki 72% dapat diperoleh di Pipiltin Cocoa Grand Indonesia, Pipiltin Cocoa Sarinah, Foodhall Senayan City, Kem Chicks Pacific Place, dan Tokopedia.

Kehadiran cokelat Ransiki 72% di pasaran Indonesia merupakan wujud kolaborasi nyata dari kemitraan Pemerintah Provinsi Papua Barat, Pemerintah Kabupaten Manokwari Selatan, Pipiltin Cocoa, Koperasi Petani Cokran “Eiber Suth” dan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH). Kolaborasi ini bertujuan melindungi hutan, lahan gambut dan ekosistem kunci di Papua Barat, sekaligus memastikan pengembangan ekonomi berbasis komoditas berfokus pada kesejahteraan orang asli Papua yang dikelola secara berkelanjutan dan dapat direplikasi secara luas. Cokelat Ransiki 72% berasal dari perkebunan seluas 1.600 hektar yang dikelola oleh Koperasi Petani Cokran “Eiber Suth” di Distrik Ransiki, Manokwari Selatan, Papua Barat.

“Cokelat Ransiki menyampaikan cerita unik kekayaan alam Indonesia, khususnya alam Papua Barat dengan keanekaragaman hayatinya. Gambar burung Vogelkop Superb Bird of Paradise pada bungkus cokelat ini menjadi kunci pesan bahwa kegiatan ekonomi dapat berjalan seimbang dengan upaya konservasi dan peningkatan kesejahteraan petani. Gerakan ekonomi kreatif tentang Indonesia semacam ini yang harus terus kita ciptakan dan sebarkan kepada dunia,” ujar Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, saat meresmikan peluncuran Cokelat Ransiki 72% di Palalada, Grand Indonesia, Jakarta.

Sesuai dengan rencana pemerintah daerah, Distrik Ransiki akan dikembangkan sebagai pusat pengembangan kakao berkelanjutan yang dikelola menggunakan prinsip-prinsip ekonomi hijau. Harapan ke depannya pengembangan kakao ini dapat menciptakan pendapatan ekonomi alternatif bagi masyarakat lokal, sembari melindungi kawasan berfungsi lindung. Pengembangan kakao berkelanjutan di Ransiki tidak terlepas dari posisinya sebagai bagian dari rangkaian ekosistem lanskap “Mahkota Permata Tanah Papua” yang membentang dari Kabupaten Tambrauw, Pegunungan Arfak, Manokwari Selatan hingga Teluk Bintuni, yang diusulkan dalam Kawasan Strategis Provinsi (KSP) berfungsi lindung pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua Barat. Rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna endemik, termasuk burung cendrawasih Vogelkop Superb yang ditemukan pada tahun 2018 dan mamalia kharismatik Ekidna (Zaglossus bruijnii) – hewan unik menyerupai landak berparuh panjang yang bertelur dan kemudian menyusui anaknya (ovovivipar).

 

“Papua Barat  dengan kekayaan keanekaragaman hayati dan budayanya adalah surga kecil yang jatuh ke bumi, dan ini bisa dirasakan dalam cita rasa khas cokelat dari surga (chocolate of paradise) Ransiki 72%” dikatakan Mohamad Lakotani,S.H., M.Si. Wakil Gubernur Papua Barat. Pada acara Gala Dinner Conservation International dengan Majalah ELLE yang bertemakan “Women on Mission” pada tanggal 8 Juni 2019 di Los Angeles, California, Amerika Serikat, setidaknya 400 batang cokelat Ransiki 72% pertama kali diperkenalkan kepada publik.

Kebijakan pembangunan daerah yang mengutamakan pelestarian sumberdaya alam dan budaya serta komitmen mempertahankan dan melindungi minimal 70% tutupan hutan dan 50% laut dan terumbu karangnya menjadikan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi Pertama di dunia. Komoditas lokal unggulan daerah non-deforestasi menjadi tumpuan pengembangan ekonomi hijau di Papua Barat, termasuk tanaman kakao di Ransiki, Manokwari Selatan yang menghasilkan cokelat berkualitas premium.

“Cokelat Ransiki adalah bukti perubahan strategi dalam upaya mengembangkan komoditas unggulan daerah di Papua Barat melalui terobosan dan inovasi dalam membangun budaya kerjasama diantara para pihak yang terlibat. Identifikasi komoditas unggulan, temukan pasar dan permintaannya, perbaiki rantai pasok dan tingkatkan produktivitas adalah langkah-langkah yang diambil untuk menghasilkan produk sekelas Coklat Ransiki.” Demikian ditambahkan Professor Charlie D. Heatubun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat yang telah terlibat sejak awal dan mengkoordinir kerjasama pengembangan Coklat Ransiki. 
 
Sejak awal Pipiltin Cocoa percaya sebelum melakukan penetrasi pasar dengan cokelat unik dari tiap daerah di Indonesia, Pipiltin Cocoa harus mengawali usahanya dengan nilai inklusif dan berkelanjutan.

“Tanpa alam dan komunitas penghasil yang selaras, tidak akan ada cokelat ataupun produk alam lain yang akan berkelanjutan produksinya. Definisi usaha berkelanjutan bagi kami adalah usaha yang tidak melemahkan potensi masa mendatang, baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan,” jelas Tissa Aunilla, pendiri sekaligus pemilik Pipiltin Cocoa.

Sementara itu, Fitrian Ardiansyah, Ketua Pengurus YIDH mengatakan, “YIDH mendukung model bisnis di tingkat petani yang menjamin kesejahteraan petani asli Papua sekaligus melindungi ekosistem Pegunungan Arfak yang berada dekat wilayah perkebunan kakao Ransiki. Kami melihat yang dilakukan Pipiltin Cocoa dengan cokelat Ransiki 72% ini sebagai salah satu perintis keberterimaan pasar dan investasi hijau di Provinsi Papua Barat dan Papua.”

Penting bagi Pipiltin Cocoa untuk bercita-cita menjadi pembeli terbaik dari penghasil kakao berkualitas. Inilah inti dari perjalanan Pipiltin Cocoa: rasa khas di tiap daerah, kualitas tinggi, keberlanjutan dan inklusif. Inklusif terhadap komunitas penghasil sebagai rantai pasok yang paling penting dibandingkan dengan pemangku kepentingan lainnya. Kenapa? Pemikirannya sederhana: tanpa pemegang saham yang sekarang, cokelat bisa saja ada di pasaran, namun tanpa komunitas penghasil tidak akan ada lagi cokelat di pasaran.