Digital World

Telset Techtival 2021

Tantangan, Visibility, dan Ekspektasi Teknologi 5G, serta Ekosistem IOT

DALAM rangkaian acara Telset Techtival 2021 pada tangga 11 Januari 2022, Numedia menyelenggarakan sharing session dengan tema “Menapaki Masa Depan Komunikasi Data”. Dalam acara ini, hadir perwakilan operator, vendor, regulator dan praktisi dunia teknologi untuk berbagi informasi mengenai teknologi 5G, dengan topik “Teknologi 5G Tantangan, Visibility dan Ekepektasi”.

Pada tahun 2021 lalu, tiga operator di Tanah Air telah resmi melaunching layanan 5G secara komersial di Indonesia. Ketiga operator tersebut adalah Telkomsel, Indosat Ooredoo, dan XL Axiata.

Diungkapkan Pemimpin Redaksi Telset.id, Hardianto Bayu Sadewo, teknologi 5G ke depannya akan menjadi game changer atau pengubah permainan yang memiliki dampak yang luas pada konektivitas di Indonesia. Bahkan, jaringan 5G diklaim menjadi tulang punggung transformasi digital dan pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, seperti halnya teknologi baru, ada tantangan dan ekspektasi yang datang bersamaan dengan 5G.

“Seperti yang kita tahu, bahwa meskipun klaim 5G telah dilaunching secara komersial, namun layanan 5G tersebut masih digelar dengan sangat terbatas. Hanya di beberapa kota, itupun masih di titik-titik lokasi tertentu. Kalau boleh, mungkin bisa dikatakan launching kemarin itu hanya sebatas seremoni saja, karena jaringan 5G belum bisa dinikmati secara luas oleh para pengguna,” ungkap Bayu.

Tidak dimungkiri, lanjut Bayu, penerapan jaringan 5G sendiri memang bukan hal yang mudah. Butuh belanja modal yang besar, khususnya untuk penyediaan small-cell densification 5G serta ekosistem digital yang canggih. Untuk itu pemerintah pun membuat roadmap 5G Indonesia. “Adanya roadmap 5G ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi industri untuk bisa menentukan strategi dalam menyambut layanan berteknologi terkini tersebut,” ujarnya.

Sementara itu, dalam paparannya, Indra Utama, Koordinator Standar Telekomunikasi Radio Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia mengatakan, bahwa di tahun 2022 ini pemerintah akan menyiapkan aturan tambahan soal pengelolaan jaringan 5G yang memuat lima aspek, yakni regulasi spektrum frekuensi radio, model bisnis, infrastruktur, ekosistem perangkat, dan talenta digital.

Dia juga mengatakan kolaborasi menjadi sangat penting dalam implementasi 5G, yang meliputi Pemerintah Pusat dan Daerah, Masyarakat, Media, Akademisi, dan Dunia Usaha diperlukan untuk pengembangan 5G.

“Kolaborasi lima elemen (Penta Helix Model), yang meliputi Pemerintah Pusat dan Daerah, Masyarakat, Media, Akademisi, dan Dunia Usaha diperlukan untuk pengembangan 5G. Pemerintah dalam hal ini mendapatkan tata kelola 5G yang efisien dan terarah; Dunia Usaha mendapatkan peluang partisipasi mengembangkan usahanya;

Akademisi mendapatkan ruang inovasi dan studinya dijasikan basis pemerintah dalam mengambil kebijakan; Media mendapatkan akses pada informasi publik secara real-time; sedangkan Masyarakat mendapatkan layanan 5G dengan kualitas terbaik,” ujar Indra Utama, Koordinator Standar Telekomunikasi Radio Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia.

Tantangan dan Hambatan Implementasi 5G

Christian G Gustiana, GM Networks Strategy Planning Telkomsel mengatakan, bahwa implementasi jaringan 5G tidak bisa terlepas dari berbagai tantangan dan hambatan. Penggelaran 5G yang ideal bagi industri masih terganjal sejumlah masalah. Salah satunya terkait ketersediaan spektrum.

“Regulator harus berusaha secepat mungkin untuk menetapkan setidaknya (bersebelahan) 100 MHz per operator di mid-bands 5G pertama dan 800 MHz per operator di pita mmWave pertama untuk mendukung layanan 5G yang optimal,” tambah Christian G Gustiana, GM Networks Strategy Planning Telkomsel.

Saat ini, Christian menambahkan, Telkomsel menggunakan spektrum 2,3 dan 2,1 GHz, serta telah tersedia di 9 kota, 10 kluster residensial, 10 hotspot, 4 event nasional dan internasional termasuk World Superbike 2021 dan MotoGP 2022 Mandalika, PON XX Papua 2021, Pusat Industri Digital Indonesia 4.0, dan KTT G20 di Bali tahun 2022 ini.

Selain spektrum, ekosistem - dalam hal ini terkait perangkat dan use cases, juga menjadi tantangan lainnya dalam implementasi 5G di Indonesia. Bukan saja harga perangkat 5G yang masih mahal, isu perlindungan data pribadi juga belum selesai. Belum lagi, langkanya ekosistem dalam negeri.

“Harapannya selain pengadaan spektrum baru, dengan harga yang lebih fleksibel, pertumbuhan perangkat 5G juga bisa terus meningkat, dengan harga yang semakin murah,” imbuh Christian.

Sementara itu, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sarwoto Atmosutarno menyoroti kondisi operator saat ini secara global dalam menghadapi 5G. “Bukan saja revenue yang terus turun, operator juga mengalami tekanan pada cahflow, peningkatan CAPEX untuk layanan yang terus meningkat, serta EBITDA margin yang stagnan,” ungkapnya.

Oleh karena itu, strategi implementasi 5G disebut sangat penting oleh Sarwoto. Berdasarkan kerangka Peta Jalan 5G PokJa Model Bisnis memetakan strategi implementasi 5G dari 2021 sampai 2024. Adapun strategi itu meliputi implementasi 5G di ibu kota provinsi, destinasi wisata super prioritas seperti Borobudur dan Mandalika, ibukota negara baru dan di industri manufaktur.

“Itu belum termasuk strategi implementasi micro operator, dengan sejumlah skenario termasuk kepemilikan jaringan, kerjasama dengan jabersel, kepemilikan frekuensi, operasional jaingan, elemen jaringan, aplikasi platform, dan penomoran,” pungkasnya.

Konsep micro operator sendiri digagas untuk membangun jaringan sel kecil lokal untuk penyampaian layanan yang disesuaikan. Pendekatan ini dapat membuka ekosistem bisnis komunikasi seluler 5G di masa depan untuk memungkinkan masuknya pendatang baru ke pasar.

Micro operator dapat membangun dan mengoperasikan infrastruktur komunikasi sel kecil dalam ruangan dan menawarkan layanan dan konten terkait konteks lokal untuk melayani kebutuhan spesifik berbagai sektor vertikal yang melengkapi penawaran broadband seluler tradisional.

Potensi dan Tantangan Ekosistem IOT di Indonesia

Ekosistem Internet of Things (IOT), di Indonesia memiliki potensi yang besar, apalagi ketika didorong oleh teknologi 5G. Namun disisi lain terdapat sejumlah tantangan yang menjadi pekerjaan rumah bagi pengembang IOT.

Menurut Ketua Umum Asosiasi IOT Indonesia (ASIOTI), Teguh Prasetya potensi ekosistem atau pasar IOT di Indonesia pada tahun 2022 mencapai USD 26 miliar atau Rp 372 triliun, yang terdiri dari peningkatan di beberapa sektor.

Mulai dari sektor perangkat yang potensinya meningkat 13% menjadi USD 3,4 miliar atau Rp 48,6 triliun, dan jaringan meningkat 9% menjadi USD 2,3 miliar atau Rp 32,8 triliun. Berikutnya peningkatan juga terjadi di IOT sektor aplikasi sebesar 33% menjadi USD 8,6 miliar atau Rp 122,9 triliun dan aplikasi sebesar 45% yakni USD 11,7 miliar atau Rp 167,3 triliun.

“Di tahun 2022 pasar IOT akan meningkat dan aplikasi mengalami peningkatan yang tinggi hingga Rp 167,3 triliun dibandingkan sektor IOT lainnya,” ujar Teguh dalam acara webinar Telset Techtival 2021 pada Selasa (11/1/2022).

Kemudian sepanjang tahun potensi pasar IOT akan terus mengalami peningkatan. Nantinya di tahun 2025 pasar IOT di Indonesia diprediksi mampu bisa mencapai USD 40 miliar atau Rp 572,7 triliun di tahun 2025, dengan 678 juta perangkat IOT yang sudah terhubung.

“Berdasarkan hasil analisa ASIOTI di tahun 2020 besarnya potensi IOT di Indonesia hingga tahun 2025 adalah USD 40 miliar. Potensi ekosistem IOT yang besar ini sejalan dengan minat, kebutuhan serta demand dari masyarakat yang ada,” ungkap Teguh.

Pria yang juga berstatus sebagai Dirut PT Alita Praya Mitra ini menjelaskan kalau terdapat 9 sektor IOT yang bisa dikembangkan di tahun 2022 sampai 2025. Kesembilan sektor tersebut adalah Kesehatan, Makanan dan Minuman, Pertanian dan Perkebunan, Tambang dan Perminyakan, Perumahan, Transportasi, Perkantoran & Kawasan, Pendidikan dan Manufaktur.

“Ada 3 hal besar yang akan menjadi pokok pengembangan IOT yaitu meningkatkan operasional dan efisiensi, meningkatkan kualitas kesehatan dan keamanan, serta meningkatkan produktivitas. Ketiga hal tersebut terbagi dalam 9 sektor pengembangan,” jelasnya.

Teknologi 5G Mendorong Ekosistem IOT di Indonesia

Tahun 2021 Indonesia resmi menggelar teknologi 5G. Teknologi terbaru itu diharapkan mampu mendorong ekosistem IOT di Indonesia. Menurut VP Internet of Things Telkomsel, Alfian Manullang, bahwa 5G merupakan platform yang mampu mendorong berbagai inovasi di segala sektor, salah satunya IOT.

“5G adalah platform yang mampu mendorong terciptanya inovasi, di sektor eMBB, Mobile Edge Computing (MEC), Network Slicing, Massive IOT dan Ultra Low Lag,” tutur Alfian.

Khusus mengenai IOT, Alfian berkata kalau teknologi 5G mampu meningkatkan implementasi produk IOT di sektor industri manufaktur.

Berdasarkan kolaborasi Telkomsel dan Schneider Electronics di Batam, ternyata 5G mampu mendukung beberapa use case IOT seperti Industrial IOT, Augmented and Virtual Reality, Lean Digitization System (OEE), dan Energy Efficiency menjadi lebih maksimal.

“Melalui kolaborasi dengan Schneider, kami ingin menjadi pionir atau benchmark dalam pemanfaatan 5G, sebab dengan IOT yang didukung 5G kita bisa mendapatkan output yang lebih baik dari segi produktivitas, efisiensi dan keselamatan,” sambung Alfian.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Product Manager Xiaomi, Calvin Nobel yang berpendapat kalau teknologi 5G bisa mendorong perusahaan untuk membawa lebih banyak produk AI dan IOT (AIOT) ke Tanah Air. Apalagi saat ini Xiaomi telah memiliki lebih dari 2000 produk, dan sudah memiliki lebih dari 400 juta pengguna di seluruh dunia.

“Dengan adanya 5G, Xiaomi bisa membawa produk-produk yang lebih banyak dan menyeluruh sehingga semua orang lebih aware terhadap produk dari Xiaomi. Kedepannya kita akan membawa lebih banyak produk lain ke indonesia,” imbuhnya.

Tantangan Implementasi Ekosistem IOT di Indonesia

Terdapat sejumlah tantangan yang terjadi untuk ekosistem IOT di Indonesia. Setidaknya ada 4 tantangan yang dihadapi oleh pengembang IOT. Tantangan pertama adalah soal literasi di kalangan executive level dan masyarakat umum mengenai IOT.

“Banyak yang belum mengerti mengenai IOT sehingga perlu adanya edukasi dan sosialisasi secara masif dan terstruktur,” jelas Teguh.

Tantangan kedua adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih minim, khususnya SDM yang telah memiliki sertifikasi dan spesialist di bidang IOT. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya training, assessment dan pembinaan yang menyeluruh, mulai dari pendidikan dasar hingga vokasi.

“Minimnya SDM menjadi kendala dan jawabannya adalah melakukan training dari pendidikan dasar hingga vokasi. Hal ini dapat dilakukan oleh lembaga formil maupun mandiri dan online. Tujuannya agar banyak SDM yang mempunyai skill IOT,” sambungnya.

Ketiga adalah keterbatasan kapital baik dalam bentuk investasi awal dan insentif mengenai IOT. Jawaban dari tantangan ini yakni dengan fleksibilitas pola implementasi mulai dari OPEX, Bagi Hasil, Hibah/Socialpreneur dan Sponsorship.

Keempat adalah masalah komponen elektronik seperti importasi, dan kelangkaan supply. Teguh menyarankan agar perlu adanya kemudahan dan pemberian insentif impor komponen.

“Hal ini dinilai diperlukan untuk pembuatan industri komponen elektronik seperti chip di Indonesia. Kita berharap bisa mengatasi kelangkaan supply, dengan menggunakan produk chip lokal yang ada,” saran Teguh.

Dia menyimpulkan bahwa IOT akan terus bertumbuh dengan pesat sejalan dengan pengembangan otomatisasi di semua sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pengembang IOT untuk bisa membentuk ekosistem yang saling bersinergi agar dapat bertumbuh dengan cepat.