Events

Tiga Kuliner Langka di Festival Jajanan Bango 2019

Meneruskan Warisan Resep Keluarga Demi Eksistensi Kelezatan Asli Nusantara

DJAKARTA.ID – Menjadi generasi penerus bisnis kuliner turun-temurun adalah sebuah tanggung jawab besar. Berjuang untuk terus menghidupkan resep warisan keluarga di antara serbuan kuliner baru pada jaman serba online ini, tidaklah mudah. Festival Jajanan Bango (FJB) 2019 yang berlangsung pada tanggal 16 – 17 Maret 2019 kemarin mencoba membantu dan melestarikan jajanan Nusantara tersebut.

Area Parkir Squash, Gelora Bung Karno (GBK) disulap sebagai tempat berkumpulnya 80an penjaja kuliner pada acara #FJB2019. Mengusung tema "Kelezatan Asli, Lintas Generasi", puluhan kuliner tersebut terbagi menjadi tiga area, yakni Distrik F, Distrik J, dan Distrik B. Khusus Distrik J diisi oleh 10 Penjaja Kuliner Lintas Generasi yang telah membuktikan tekadnya untuk melanjutkan regenerasi pelestarian kuliner warisan keluarganya.

Lebih istimewanya lagi, #FJB2019 juga menghadirkan tiga jajanan langka di Distrik B yang masih tetap bertahan hingga sekarang. Mereka adalah Bubur Ase Mpo Neh, Soto Tangkar & Sate Kuah Pak Haji Diding, serta Cungkring Pak Jumat.

Mempertahan Konsisten Rasa Bubur Ase

“Pernah waktu itu ada salah satu pengunjung yang hanya mau dilayani oleh Mpok Neh. Setelah saya jelaskan bahwa resep bubur Ase ini tidak pernah berubah, akhirnya ia menerima juga. Lucu sih kalau inget waktu itu, hehehhe,” cerita Pak Heru ke tim djakarta.id

Pria bernama lengkap Muhammad Nasrullah tersebut adalah penerus bisnis kuliner Bubur Ase Mpo Neh yang sudah ada sejak tahun 1970an. Ase sendiri merupakan akronim dari ‘Asinan Semur’ yang menjadi pembeda dengan bubur lainnya.

Bubur Ase adalah bubur nasi putih dicampur dengan asinan lobak, tauge, dan sawi. Kemudian disiram kuah semur Betawi lengkap dengan potongan tahu serta daging sapi. Perpaduan yang kaya rasa antara gurihnya bubur, asinan, dan manisnya kuah semur.

Bubur Ase Mpok Neh

Pak Heru tetap menjaga #KelezatanAsli Bubur Ase dengan memakai resep yang sama dengan Mpok Neh. Mulai dari cara memasak bubur hingga penggunaan bumbu-bumbunya pun, seperti bawang merah, bawang putih, ketumbar, lada, dan penyedap rasa. “Nggak pernah berubah resepnya dari dulu. Meskipun sekarang banyak bumbu instan, saya tetap pakai bahan yang diajarkan Ibu Asna (Mpok Neh),” jelasnya.

Pria yang sempat bekerja sebagai staf administrasi, operator, dan kini menjadi pengemudi ojek online, selalu meluangkan waktunya untuk memantau usaha kuliner bubur mendiang ibunya. Tidak hanya Pak Heru, tetapi semua anggota turut membantu. “Ini kan usaha keluarga ya, Mas. Jadi, semua anggota turut bantu-bantu juga, kok. Nggak hanya saya sendiri. Beberapa kakak saya juga berjualan di kediamannya masing-masing. Kalau saya tetap meneruskan di lapak Ibu dulu berjualan,” terangnya pada djakarta.id.

Sedari kecil, Pak Heru memang suka membantu ibunya untuk memasak bubur. Inilah alasan paling mendasar beliau mau meneruskan usaha keluarganya. Total ada tiga penjual Bubur Ase hingga saat ini, yakni dua kakak perempuannya, dan beliau sendiri.

Pak Heru sedang Menuangkan Kuah Semur Daging ke atas Bubur Ase

Bermodal seadanya di dalam warung depan kediamannya, barisan meja kursi yang hanya muat untuk 8 pengunjung tersebut tak membuat semangatnya luntur. Semuanya dijalani dengan suka cita dan terus konsisten. “Dulu ibu sempat berpesan kepada anak-anaknya agar terus berusaha untuk konsisten dalam apapun. Harus bisa hidup mandiri dan pokoknya tidak bergantung sama orang lain. Alhamdulillah bantuan dari Kecap Bango ini sangat membantu usaha Bubur Ase. Pastinya akan saya manfaatkan sebaik mungkin demi keberlangsungan usaha ini,” tutupnya.

Harga seporsi Bubur Ase dibanderol dengan harga Rp15.000,00. Buka mulai pukul 12 siang hingga 9 malam di Jalan Kebon Kacang III, No.83, Jakarta Pusat.

Rahasia Kelezatan Asli Sate Kuah Daging Sapi H. Diding

Menjadi generasi ketiga penerus “Sate Kuah Daging Sapi H. Diding”, Yayat Supriyatna selalu konsisten menjaga #KelezatanAsli warisan keluarganya. Sate kuah milik Pak Yayat menjadi salah satu dari tiga jajanan langka yang mendapat spotlight di acara tahunan itu. Kuliner turun temurun ini sudah ada sejak tahun 1960an sejak H. Diding meneruskan usaha tersebut dari mendiang ayahnya. Beliau kemudian memulai ‘racikan’ pertama kali untuk memadukan sate sapi dengan soto tangkar. Sebelumnya, pada era itu di Betawi belum ada yang namanya sate kuah. Bisa dikatakan bahwa H. Diding sebagai pionir penjual sate kuah di Jakarta.

Kini, usahanya diteruskan oleh anak sulungnya, yaitu Pak Yayat. Beliau masih berjualan di tempat bapaknya dulu pertama kali menjajakan sate kuahnya, yakni di Jalan Pasar Pagi II, RT.2/RW.2, Roa Malaka, Tambora, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11230. Buka setiap hari kecuali Jum’at, kedai Sate Kuah Daging Sapi H. Diding melayani pembeli dari pagi hingga sore hari.

Sate Kuah Daging Sapi H. Diding

“Setelah bapak wafat pada tanggal 9 Mei 1998, saya yang meneruskan usahanya di tempat yang sama. Sampai sekarang masih di situ. Hanya kami yang jualan sate di sana, kanan kiri rata-rata penjual ATK, hahahah,” ungkap Pak Yayat.

Sebagai anak pertama dari delapan bersaudara, Pak Yayat merasa memiliki tanggung jawab untuk meneruskan bisnis warisan keluarganya. Hal ini dilakukan sebagai rasa hormatnya kepada mendiang H. Diding yang sudah berperan besar dalam keluarga besarnya.

“Bapak tuh nggak sekolah tinggi, tapi beliau bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga kuliah. Ya dengan berjualan sate itu. Nah, setelah bapak meninggal, saya merasa terpanggil untuk meneruskan usahanya. Sayang sekali kalau berhenti begitu saja ketika melihat jerih payahnya. Akhirnya saya meninggalkan kerjaan di bank dan fokus pada usaha ini,” tambahnya.

Pak Yayat bahkan masih mengingat bagaimana H. Diding berjualan menjajakan sate kuahnya, mulai dari dipikul berkeliling hingga membuka warung sendiri. Ia bersama ketiga kakaknya juga sempat membantu berbelanja di pasar selepas pulang sekolah. Semenjak kecil, pria yang dulunya berprofesi sebagai banker selama 12 tahun ini memang suka membantu di dapur. Mulai berbelanja ke pasar, beli bahan untuk bumbu, beras, dan sebagainya.

Pak Yayat Menyajikan Sate Kuah Daging Sapi H. Diding ke Salah Satu Pengunjung

Menjalankan sebuah usaha memang susah-susah gampang. Begitupun dengan Pak Yayat yang kini hidup di jaman serba online. Menjamurnya aplikasi daring di Indonesia nyatanya tak sejalan dengan keyakinan beliau untuk menjajakan usaha kulinernya melalui layanan tersebut.

“Sebenernya sudah banyak yang menawarkan, cuma saya masih belum siap. Tahu sendiri kan, pas dagangan kita udah masuk aplikasi tersebut, harga tentu saja naik, belum lagi profit sharing dengan mereka. Saya masih belum siap untuk sekarang. Tapi, ke depannya bisa aja nanti Sate Kuah H. Diding ini bisa dipesan online,” ujarnya.

Saat ini, Sate Kuah Daging Sapi H. Diding memiliki empat cabang yang tersebar di kawasan Jakarta Barat. Bantuan modal dari Kecap Bango menjadi angin segar bagi Pak Yayat dan usahanya untuk bisa lebih maju lagi. Pria asal Bogor itu akan memanfaatkanya sebaik mungkin agar kuliner warisan keluarganya bisa terus dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya.

Pak Yayat pun membagikan ‘resep rahasia’ dari kelezatan asli sate kuahnya kepada tim djakarta.id. “Dari dulu bapak saya jualan, beliau sudah menggunakan kecap Bango meskipun kadang harganya sering naik turun kala itu. Sempat dulu pernah pakai kecap merek lain tapi rasanya nggak cocok. Manisnya kurang pas. Jadi, balik lagi pakai Kecap Bango hingga sekarang,” tutupnya bangga.

Cungkring, Resep Mertua yang Tak Kenal Usia

Bermula dari resep warisan mertua Pak Jumat, jajanan Cungkring (Cungur, Kaki, dan Garing) khas Bogor dijajakan sekitar tahun 1974 – 1975. Saus asam atau oncom masih menjadi kuah khas Cungkring klasik waktu itu. Namun, Pak Jumat memodifikasi sausnya menjadi bumbu kacang hingga sekarang.

“Saya ini generasi ketiga kalau dilihat dari asal mula Cungkring resep mertua bapak (Pak Jumat). Namun, sekarang kan udah pakai bumbu kacang, yang mana itu hasil kreasi bapak saya sendiri. Beliau mulai menggunakan bumbu kacang sejak tahun 1975 – 2014. Bisa dikatakan, saya termasuk generasi kedua dengan resep baru ini,” terang Pak Deden.

Cungkring merupakan akronim dari kata Cungur (Mulut), Kaki, dan Garing. Kebiasaan orang Sunda dahulu memang suka menyingkat kata-kata dan masih dipakai hingga sekarang. Cara membuatnya adalah cungur dan kaki sapi direbus hingga matang. Kemudian, potongan cungur dan kaki tersebut disiram saus kacang su’uk (kacang tanah), serta atasnya ditaburi peyek tempe atau garingan tempe.

Cungkring (Cungur, Kaki, dan Garing) khas Bogor

Pemilik nama lengkap Muhammad Deden ini mulai meneruskan usaha Cungkring Pak Jumat sejak tahun 2015 hingga sekarang. Beliau tetap berjualan di lokasi tetapnya Pak Jumat ketika menjajakan Cungkring-nya.

“Dulu bapak jualannya keliling gitu. Dari pagi hingga malam karena masih belum banyak peminatnya. Lalu, tahun 2004 beliau ngetem di perempatan Gang Awut, Jalan Sulanjana, Bogor. Hingga sekarang, saya tetap berjualan di situ, tetapi saya nggak keliling lagi,” lanjutnya.

Keterbatasan dana untuk menyewa kedai bagi Pak Deden dirasa terlalu mahal. Namun, beliau tidak ingin berhenti begitu saja melihat situasi tersebut. Ia berkeinginan untuk terus mengenalkan dan melestarikan kuliner unik khas Bogor ini agar tidak tergerus jaman. Di Bogor sendiri, menurutnya hanya tersisa tiga penjual saja yang menjajakan jajanan Cungkring.

Pak Deden Menuangkan Kecap Bango untuk Menambah Kelezatan Cungkring

Pesan yang masih diingat Pak Deden dari Pak Jumat adalah untuk terus menjaga kualitas. “Cungkring ini tidak boleh diubah apapun pokoknya. Bumbu dan bahan-bahanyya harus tetap sama. Ini yang selalu saya tanamkan saat menjajakan Cungkring,” pungkasnya.

Rasa syukur ia panjatkan ketika mengetahui bahwa Kecap Bango mengundangnya ke acara Festival Jajanan Bango 2019 serta memberikan bantuan dana untuk mengembangkan usaha kuliner Cungkring Pak Jumat.

“Terima kasih banyak sama Kecap Bango karena sudah membantu melestarikan jajanan legenda Cungkring ini. Saya sangat bahagia dan akan saya gunakan untuk menyewa kedai, sehingga bisa menjajakan Cungkring hingga malam hari. Ini amanah dari Kecap Bango. Sekali lagi terima kasih,” tutupnya.

#KelezatanAsli Lintas Generasi menjadi bukti bahwa keragaman dan kekayaan kuliner Nusantara harus selalu dijaga demi kelestarian resep warisan keluarga. Tujuan akhirnya tentu saja untuk bisa dinikmati oleh anak, cucu, dan cicit di masa mendatang. Sampai jumpa di Festival Jajanan Bango berikutnya! (aul@djakarta.id)